Pages

Labels

Jumat, 05 Oktober 2012

SPIRITUALITAS ISLAM: SOLUSI ALTERNATIF MENGATASI KRISIS MODERNISME



Positivistik dan empirik ciri utama modernitas, beranggapan: Agama hanyalah sisa-sisa dari pengalaman masa kecil manusia yang terus dibawa setelah dewasa. Pada kepribadian yang dewasa, kesetiaan pada agama adalah tanda patologi, kemampuan berpikir logis yang rendah. Tuhan tidak ada karena tidak bisa diamati baik oleh mikroskop maupun teleskop.
Ini: Akibat logis modernisasi yang dilakukan Barat sejak abad Renaissans. Modernisme menghendaki pembedaan yang tegas antara agama dengan masalah kehidupan duniawi, seperti ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan lainnya, di mana pada gilirannya modernisme melahirkan paham sekuler yang menghendaki adanya pemisahan antara urusan-urusan agama dan masalah kehidupan.

Dampak negatif modernisasi telah melahirkan multikrisis yang belum pernah dialami pada abad-abad sebelumnya. Krisis makna hidup, kehampaan spiritual, dan tersingkirnya agama dari kehidupan manusia hampir menghinggapi seluruh manusia di muka bumi ini.
Nas}r, menyaksikan langsung berbagai ekses negatif modernisasi di Barat. Barat (sumber penyebab krisis) kini merasakan krisis multi-dimensional. Untuk keluar dari krisis ini, Nas}r menyerukan kepada mereka kembali kepada hikmah spiritual agama dan membatasi diri dalam mengejar kesenangan duniawi, mengendalikan nafsu, menjadi humanis-rasional dan memperhatikan tetangga mereka, baik manusia maupun bukan manusia; lingkungan, binatang dan alam.
Sementara tragedi yang berlangsung di dunia Islam, ialah sedang mengulang atau justru sedang menuju kepada kesalahan yang dibuat oleh Barat, yaitu menciptakan masyarakat dengan peradaban modern yang sejujurnya justru menjadi penyebab krisis. Untuk di Timur, Nas}r menyarankan agar pembaharuan pemikiran Islam dilakukan dengan menggali dan mengkaji kembali khazanah warisan pemikiran Islam klasik dan tidak mengambil konsep-konsep modernisme Barat sebagai model.
MENGHIDUPKAN KEMBALI SPIRITUALITAS ISLAM
Jalan keluar: mernahami realitas dalam perspektif nilai-nilai tradisional yang ada dalam Islam yang mengajarkan prinsip keseimbangan (equiliblrium) antara kebenaran transcendental dan kebenaran obyektif bumi.
Spiritualitas Islam adalah sikap dari setiap muslim yang merefleksikan Allah swt sebagai sesatu yang vital dan menentukan norma atau prinsip hidup. Al-Qur'an dipandang sebagai norma atau prinsip hidup oleh mereka yang ingin selamat.
Spiritualitas Islam mengajak kesadaran manusia untuk menjadikan Tuhan dengan segala representasinya (keesaan, sifat-sifat dan al-asma>' al-husna>, al-Qur'an) sebagai model pokok dari segala bentuk ekspresi kemakhlukan manusia.
Itu sebabnya, segala bentuk tata kehidupan umat Islam mempunyai spiritualitas, sejauh didasarkan pada kesadaran keesaan Tuhan, sebagaimana diujarkan oleh Al-Quran dan berdasarkan teladan Nabi. Artinya, kehidupan spiritual dalam Islam didasarkan pada rasa takut disertai rasa pengharapan (al-khauf wa al-raja>'), kepatuhan (at}-t}a'ah), dan cinta (al-h}ubb) kepada-Nya. Dengan demikian, semua tindakan manusia timbul dari kesadaran batiniahnya sebagai makhluk teomorfis.
SEKULERISME BARAT DAN KEHAMPAAN SPIRITUAL
Di era modern ini, obsesi keduniaan manusia tampak lebih dominan mewarnai ketimbang spiritual. Kemajuan teknologi, sains dan segala hal yang bersifat duniawi, jarang disertai dengan nilai spiritual. Akibatnya, jiwa pun menjadi kering, hampa dan membutuhkan siraman ruhani yang dapat menyejukkannya. Kehampaan jiwa sebagai dampak peradaban modern menegasikan hal-hal yang bersifat spiritual (ru>h}iyyah) dan penyingkiran terhadap nilai-nilai (ma'na>wiyyah) secara gradual dalam kehidupan manusia.
Manusia modern mencoba hidup dengan alam yang kasat mata. Mereka bahkan mencoba membunuh Tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Akibatnya kekuatan dan daya manusia mengalami eksternalisasi. Selanjutnya dengan eksternalisasi ini manusia menaklukkan dan mengeksploitasi dunia dengan semena-mena tanpa batas. Manusia modern membuat hubungan baru dengan alam melalui proses desakralisasi alam. Alam dipandang tak Iebih dari sekedar objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi seoptimal mungkin, memperlakukan alam seperti pelacur, menikmati dan mengeksploitasi alam demi kepuasan dirinya tanpa rasa kewajiban dan tanggungjawab apa pun.
Tradisi Islam menegaskan bahwa alam merupakan teofani (tajalliy) Tuhan yang menyelimuti dan sekaligus mengungkap kebesaran Tuhan. Lingkungan alam adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan yang tampak (al-syuhu>d), wahyu yang terhampar (al-Qur’an al-takwini) yakni alam semesta ini, disamping wahyu tertulis (al-Qur’an al-tadwini) yakni al-Qur’an dalam bentuk Kitab Suci.
Dalam ungkapan lain, Tuhan itu adalah “Lingkungan” tertinggi yang mengelilingi dan mengatasi manusia. Al-Qur’an sendiri menyebutnya Tuhan itu sebagai Al-Muhith (Yang Serba Mencakup).
Kesadaran akan ke-ih}a>t}ah-an Allah, merupakan sebuah upaya untuk menjembatani jurang yang memisahkan manusia dari Tuhannya. Dengan melaksanakan segala kewajiban syariat dan memperbanyak dzikir untuk mengingat-Nya, berusaha memperkecil perbedaan antara Tuhan yang Mahasuci dan ruh manusia yang kotor karena pengaruh hawa nafsu, pada hakikatnya, manusia melakukan pembersihan jiwa dari segala bentuk kotoran pengaruh nafsu dan pembersihannya harus kembali mengingat (zikir) kepada Tuhan. Mengingat Tuhan berarti mengalami realitas-Nya sebagai Al-Muhith atas segala ciptaanNya. Mengingat Tuhan sebagai al-Muh}i>t} berarti menyadari terus menerus kualitas kesakralan alam, fenomena alam sebagai ayat-ayat Tuhan. Dan kehadiran lingkungan alam dapat dirasakan sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan, manakala nilai-nilai ila>hiyyah senantiasa hadir dalam dirinya.
Artinya seorang yang memiliki spiritualitas agama atau mukmin sejati, senantiasa merasakan ada hubungan dengan Tuhan dan ini melahirkan sebuah tanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan.
Jadi, krisis lingkungan tak lain disebabkan oleh penolakan manusia terhadap Tuhan sebagai “al-Muh}i>t}” yang sesungguhnya, yang mengelilingi sekaligus memelihara kehidupan mereka. Perusakan lingkungan bermula dari sikap manusia modern yang memandang alam sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari “Lingkungan” Ilahi.
Islam memandang manusia difungsikan sebagai khali>fatulla>h di muka bumi, dimana segala perbuatannya harus menjadi sebuah pengabdian (ibadah) kepada-Nya karena dalam hakikat penciptaannya ia sebagai 'abdulla>h (hamba Allah). Sebagai hamba Allah, manusia harus pasif di hadapan Tuhan dan menerima apa pun rahmat yang diturunkan dari¬Nya. Sementara sebagai khalifah Allah, manusia harus aktif di dunia, memelihara keharmonisan alam, dan menyebarluaskan rahmatTuhan yang diturunkan kepadanya sebagai pusat ciptaan.
Hal ini bisa dicapai oleh manusia manakala ia berusaha memperoleh titik keseimbangan antara iman dan ilmu. Ilmu yang dicapai dengan akal dan pengamatan rasional dengan ukuran kuantitatif, dapat membentuk manusia sebagai penguasa dunia. Sedangkan iman yang dicapai dengan rasa melalui pengamatan irfa>nie dan karena itu bersifat kualitatif, dibentuk oleh agama, membentuk manusia menjadi hamba Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text